Teknologi dalam dunia balap selalu berkembang seiring waktu. Perubahan dan eksprerimen akan terus dilakukan sebuah tim balap untuk meningkatkan performa motor di lintasan. Itu juga yang terjadi pada kompetisi balap motor terbesar di dunia, MotoGP. Setiap tahun kompetitor balap akan berusaha mengembangkan motor dengan part-part dan komponen baru agar menghasilkan peningkatan pada kecepatan, stabilitas, kemampuan akselerasi dan bermanuver di tikungan.
Ya, teknologi memang akan selalu lekat kaitannya dengan MotoGP, karena motor dengan kapasitas mesin 1000cc ini mampu menembus kecepatan hingga 362 km/jam, seperti yang di torehkan oleh Johann Zarco di sesi Free Practice 4 GP Qatar 2021. Untuk mendapatkan kecepatan itu dibutuhkan dukungan dari kecanggihan teknologi motor yang mumpuni.
Karena tanpanya, akan sulit bagi motor dengan tenaga yang lebih kecil untuk bersaing di sengitnya pertarungan kelas MotoGP. Ducati sebagai tim dengan sokongan dana melimpah adalah salah satu contoh tim yang selalu melakukan revolusi besar pada motor. Ducati datang tahun 2003 dengan konsep motor Powerfull di trek lurus. Sayangnya Desmosedici kala itu adalah motor yang tidak balance dan mengalami masalah understeer serius selama bertahun-tahun.
Jika mereka tak memiliki Rider seperti Casey Stoner, mungkin Ducati akan mengalami paceklik gelar hingga 1 dekade lebih. Kini mereka berevolusi dengan motor, mengubah Fairing Motor, Aerodinamis, memperbaiki Geometri dan memasang banyak perangkat untuk meningkatkan kemampuan motor di race seperti Hole Shot Device, penutup cakram hingga Aero Fairing yang kemudian diikuti tim Pabrikan lainnya.
Namun ternyata tidak hanya Ducati yang berkembang pesat, Yamaha pun melakukan hal yang sama. Meski memiliki arah pengembangan motor yang berbeda, Yamaha tetap melakukan pengembangan berarti pada motor. Sejak mengikuti Grand Prix, Yamaha terkenal dengan kelincahan motornya saat meliak liuk di tikungan. Tapi motor Pabrikan jepang ini selalu terkendala dengan power motor yang masih kalah dari Honda dan Ducati.
Jauh di tahun 2003, Yamaha pernah berada dalam masa-masa sulit karena tidak bisa meraih kemenangan dalam 1 musim. Ketiga tim Yamaha yang terdiri dari Gauloises Yamaha Team, Fortuna Yamaha Team dan D’Antin Yamaha Team gagal menjuarai race. Hanya Alex Barros saja yang pernah sekali naik podium di GP Le Mans dengan menempati peringkat ke 3.
Kali terakhir Yamaha memenangi race adalah pada GP Sepang 2002 dengan Max Biagi yang keluar sebagai pemenangnya. Masalah ini yang kemudian membuat insinyur Yamaha berpikir keras. Apalagi di musim tersebut Honda sangat dominan dengan 15 kali kemenangan (9 kemenangan dari Valentino Rossi, 4 kemenangan dari Sete Gibernau dan 2 kemenangan dari Max Biaggi).
Sadar prestasi Yamaha masih tertinggal jauh, para mekanik dan insinyur Yamaha pun mulai mencoba terobosan baru. Mereka bereksperimen dengan hal yang tidak biasa. Apa itu? Yamaha menggunakan Twin Shock/Double Shockbreaker di bagian belakang motor. Ya, memang terdengar tidak biasa, namun itu upaya yang pernah mereka tempuh untuk bisa mengurangi kesenjangan poin dari Honda.
Bagaimana Eksperimen Twin Shock Itu Bermula?
19 tahun silam, tepatnya pada tahun 2003 saat tes IRTA di sirkuit Jerez, Yamaha melakukan sebuah langkah besar dengan menguji coba motor baru dengan Twin Shock. Mereka melakukan pengujian pada motor Prototype untuk musim 2004. Adalah Norick Abe, rider idola Valentino Rossi yang ditunjuk Yamaha sebagai Test Rider untuk menguji teknologi baru ini.
Twin Shock pada motor ini mengingatkan kita pada motor Underbone yang banyak beredar di kawasan Asia, karena untuk balap sekelas MotoGP, 2 Shockbreaker tak lazim untuk di gunakan. Di klaim oleh Ohlins sebagai pemasok Shockbreaker di MotoGP, Twin Shock yang dipakai pada motor Prototype Yamaha YZR-M1 saat itu adalah yang termahal di MotoGP dan eksklusif untuk Yamaha saja.
Tujuan Penggunaan Twin Shock Di Motor M1
Twin Shock ini berfungsi untuk meningkatkan Grip/cengkraman ban pada permukaan trek dan memperpanjang durasinya, sekaligus mengurangi getaran yang muncul ketika melewati tikungan. Pengaplikasian 2 peredam kejut di belakang akan sangat membantu dalam mengurangi getaran, terutama saat melakukan Hard Braking.
Yamaha berusaha memaksimalkan potensi motor mereka karena mereka tau Honda RC211V sebenarnya punya masalah dengan Chattering. Disitulah bagian dimana Yamaha ingin sedikit diatas Honda agar bisa lebih kompetitif di lintasan. Ketika Twin Shock ini dicoba, beberapa bagian motor pun harus di modifikasi ulang seperti Swingarm, sasis dan knalpot untuk beradaptasi dengan sistem suspensi baru.
Yamaha pun akhirnya mengubah posisi knalpot 4-1 menjadi dibawah jok, memakai Swingarm belakang terbalik dan mencoba sasis Deltabox eksperimental untuk menyesuaikan dengan keterbatasan ruang akibat penggunaan Double Shockbreaker. Jika dilihat lebih detail, terdapat sebuah batang merah yang dipasang antara Swingarm dan jok motor yang berfungsi sebagai sensor posisi suspensi.
Desain suspensi baru ini dinilai juga mampu berkontribusi banyak untuk mempertahankan bobot motor dengan Center Of Gravity (COG) atau titik pusat gravitasi yang relatif rendah. Jika Center Of Gravity rendah, maka kemungkinan mendapatkan keseimbangan motor semakin tinggi. Shuji Sakurada selaku pemimpin tim uji teknis Yamaha saat itu mengatakan bahwa desain Twin Shock ini memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi karakteristik Flex dari Frame lebih baik.
Shuji menambahkan bahwa sebenarnya tim saat itu masih fokus untuk pengembangan sasis motor lebih lanjut. Twin Shock adalah eksperimen pendukung dan masih dalam tahapan pengujian. Dan benar saja, setelah melalui pertimbangan panjang rupanya Twin Shock ini tidak jadi digunakan untuk musim balap 2004, dimana tahun itu Valentino Rossi hijrah dari Honda ke Yamaha.
Perbedaan Fungsi Monoshock dan Double Shock
Umumnya pada motor yang di produksi massal dan beredar di pasaran, kedua jenis Shockbreaker ini kerap digunakan. Dari strukturnya pun tidak jauh berbeda. Lalu apa yang membedakannya? Perbedaannya adalah pada karakteristik masing-masing suspensi. Monoshock biasanya berukuran lebih pendek dan lebar jika dibandingkan Double Shock yang lebih tinggi namun relatif ramping.
Monoshock mampu meningkatkan kelincahan motor saat bermanuver sementara Double Shock lebih kokoh untuk mempertahankan bobot motor dan pengendara. Secara garis besar keduanya berfungsi sama, yaitu sebagai alat peredam getaran yang sekaligus menopang berat motor dan pengendaranya.