Andrea Dovizioso merupakan salah satu pembalap papan atas yang menjadi kebanggaan publik Italia di MotoGP yang kini membela WithU Yamaha RNF MotoGP Team. Di kelas para raja, Dovizioso lebih identik dengan pabrikan Bologna, Ducati. Bahkan karena lekatnya nama Dovizioso dengan Ducati, para pecinta balap MotoGP pun kerap menyebut motor yang dikendarai Dovizioso dengan istilah Desmo Dovi.
Ya, bisa dibilang Dovizioso adalah suksesor penerus era kejayaan Casey Stoner, sang penjinak Desmosedici terbaik sepanjang sejarah MotoGP. Dalam menjalani karir balapnya, Dovizioso menempuh jalan yang sama dengan pembalap lainnya dengan terlebih dulu turun di kelas 125cc dan 250cc sebelum bertarung di kelas primer, MotoGP.
Di kelas tersebut, Dovi menuai prestasi memukau dengan merengkuh gelar juara dunia kelas 125cc pada 2004, menempati peringkat 3 klasemen akhir kelas 250cc 2005 dan 2 kali menjadi Runner Up di musim 2006-2007. Pencapaian fantastis inilah yang membuat Honda tertarik merekrutnya di tahun 2008. Dovizioso pun memulai petualangan balapnya di kelas MotoGP bersama Scot Racing Team yang merupakan Tim Satelit Honda selama 1 musim.
Berhasil menduduki posisi ke 5 di akhir musim, Honda pun akhirnya resmi mengontrak Dovizioso sebagai pembalap tim pabrikan Repsol Honda pada 2009. 3 tahun bersama Repsol Honda Team, Dovizioso mampu menorehkan 15 kali podium dan 1 kali kemenangan di GP Donington Park 2009. Dovizioso meninggalkan Honda pada akhir 2011 untuk berlabuh di Monster Yamaha Tech3 di musim berikutnya.
Kepindahan Dovi tersebut disebabkan oleh pihak Honda yang ingin mengubah format pembalap mereka yang semula berjumlah 3 Rider pada 2011 yaitu Dovizioso, Stoner dan Pedros) menjadi 2 pembalap saja. Stoner dan Pedrosa pun akhirnya dipertahankan, sehingga otomatis Dovizioso harus pergi dan mencari tim lainnya. Pindah ke Yamaha tak membuat prestasinya meredup. Dovizioso bahkan berhasil menggapai 6 kali podium ke 3 di tim satelit Yamaha.
Sejarah Panjang Dovizioso Di Ducati
Sebelum orang-orang mengenal Dovizioso sebagai pembalap Ducati, Dovizioso telah menjadi milik Honda selama bertahun-tahun dengan banyak pencapaian manis dalam karirnya selama 10 tahun di Honda sejak kiprahnya di kelas 125cc. Namun cerita baru muncul kala Dovizioso bergabung bersama Ducati Team di musim 2013.
Dovizioso datang untuk menggantikan Valentino Rossi yang comeback ke Yamaha usai menjalani 2 musim berat di Ducati. Sebetulnya Dovizioso datang di waktu yang tidak tepat saat itu. Kenapa? Karena Dovizioso mendapatkan motor dengan masalah Understeer yang sangat dilematis. Musim perdananya tak terlalu menyenangkan.
Dovi lebih sering finish di urutan ke 7 hingga 10 dan hanya sekali menyelesaikan balapan di posisi ke 4. Kondisi Desmosedici waktu itu sangat memprihatinkan. Sebagai pabrikan besar, Ducati kalah telak dari Honda dan Yamaha yang selalu bersinar dan bersaing di papan atas. Bahkan keadaan itu sempat membuat Dovizioso frustasi dan berpikir untuk pergi.
Kedatangan Dall’Igna Dan Proyek Revolusi Besar Ducati
Mengetahui kondisi Ducati yang semakin sulit, Gigi Dall’Igna pun di rekrut untuk menempati posisi General Manager Ducati Corse. Dall’Igna sempat membujuk Dovizioso untuk bertahan di Ducati dengan proyek besar yang akan di jalankannya di tahun 2014. Setelah melalui perundingan panjang, Dovizioso pun memutuskan bertahan untuk mengetahui seberapa besar progress dan kemajuan dari proyek besar ini.
Dan ternyata hasil positif mulai terlihat di musim 2014. Dovizioso akhirnya berhasil menembus podium perdananya yaitu posisi ke 3 di GP Austin 2014, diikuti podium ke 2 di GP Assen. Dovi pun mampu 9 kali menyelesaikan race di posisi 5 besar. Tahun 2015 Ducati kembali berinovasi dengan Winglet yang berfungsi untuk menambah efek Downforce pada ban depan dan mengurangi Wheelie saat berakselerasi.
Prestasi Dovizioso pun langsung menanjak drastis. Dovi mampu mengemas 5 kali podium yang terdiri dari 2 kali podium 3 dan 3 kali peringkat ke 2. Sejak saat itulah kebersamaan Dovizioso dan Ducati menjadi sangat erat. Dovizioso selalu menjadi pembalap utama sekaligus pengembang motor untuk Ducati.
Setahun berikutnya, pada 2016, Dovisiozo akhirnya mendapati kemenangan pertamanya dengan Ducati, tepatnya pada GP Sepang 2016. Atas loyalitas dan attitute baiknya di Ducati, Dovizioso pun selalu menjadi prioritas utama Ducati selama bertahun-tahun.
Puncak Era Keemasan Dovizioso Di Ducati
Tahun 2017 menjadi puncak kejayaan karir Dovizioso di MotoGP. Tahun yang pastinya sangat menyenangkan untuk pembalap berjuluk The Little Dragon ini. Pasalnya, Dovizioso mampu mencatatakan 6 kali kemenangan seri dan total 8 kali podium dari 18 kali balapan selama 1 musim.
Yang lebih fenomenal adalah Dovizioso menjadi satu-satunya pembalap yang mampu mengalahkan Marc Marquez 2 kali di Last Lap Last Corner GP Austria dan GP Motegi 2017. Hasil ini sudah mampu menyamai apa yang diperoleh Casey Stoner bersama Desmosedici GP8 di tahun 2008. Berkat pencapaian itu Dovi menyelesaikan musim balap 2017 di urutan ke 2 dibawah Marc Marquez.
2 musim kemudian Dovizioso masih konsisten dengan raihan total 6 kemenangan dan 18 kali podium dengan selalu mengakhiri musim di peringkat ke 2. Namun di tahun 2020, Dovizioso mulai mengalami penurunan performa yang cukup mencolok. Di musim itu, Dovi hanya sekali memenangkan race dan 1 kali mendapatkan podium ke 3. Rupanya masalah internal di Ducati banyak mempengaruhi penampilan Dovi saat bertarung di lintasan, hingga fokusnya terganggu untuk berebut tempat tertinggi di klasemen.
Konflik Dovizioso Dengan Dall Igna
Tahun 2020 adalah musim terakhir Dovizioso di Ducati. Di akhir musim, Dovi memutuskan untuk menyudahi kerjasamanya di Ducati, tim yang telah dibelanya selama 8 tahun itu. Keputusan mengejutkan ini ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor yang tak diketahui semua orang.
Ducati boleh bangga dengan kemampuan laju motornya di lintasan lurus. Tenaga dan akselerasi yang dihasilkan pada Desmosedici tak mampu disaingi oleh kompetitor lainnya. Namun Ducati tetaplah bukan motor yang sempurna. Motor berkelir merah ini selalu mengalami masalah pada kelincahan motor saat menikung. Oleh karena itu, Ducati tidak dapat dipacu maksimal pada trek tertentu yang tidak cocok dengan karakter motor Ducati.
Sebagai Rider pengembang motor, Dovizioso tau betul masalah ini dan telah berkali-kali meminta Ducati untuk membenahi problem ini. Tapi masukan tersebut tak sepenuhnya diperhatikan oleh para petinggi Ducati. Hal itu kemudian menimbulkan konflik serius dengan Dall’Igna, selaku General Manager Ducati. Rumitnya masalah tersebut bahkan sampai dipublikasikan dalam film dokumenter ‘Undaunted’ yang dirilis Red Bull pada Februari 2020.
Ungkapan Hati Dovizoso Pasca Konflik Dengan Ducati
Menurut Dovizioso, Ducati memiliki sangat banyak orang cerdas dan kompeten di bidangnya. Tapi Ducati bukanlah pabrikan Jepang. Mereka memiliki idealisme dan pendekatan yang tidak biasa. Akan selalu sulit untuk bernegosisasi dan menemukan kata sepakat untuk banyak hal di Ducati. Dovi juga mengakui jika perbedaan visi dan prinsipnya dengan Dall’Igna sering menimbulkan perdebatan panjang.
Dovizioso sendiri sebenarnya hanya ingin agar Ducati tidak hanya berfokus pada power dan keunggulan di trek lurus, namun juga perlu memperhatikan Cornering Speed, salah satu titik kelemahan Ducati jika bertarung jarak dekat melawan pabrikan Jepang. Namun Dall’Igna tetap bersikukuh untuk berkonsentrasi pada rekaman data daripada mendengarkan keluhan Dovizioso, sekalipun dia adalah pembalap utama Ducati.
Dovi pun menggambarkan hubungannya di 2020 dengan Dall’Igna yang dia sebut 0 besar. Sementara sebelum tahun 2020 hanyalah 30%, tidak lebih. Di Ducati, Dovizioso merasa jika timnya seperti terisolasi. Mereka tak banyak berbicara soal pengembangan motor dan hanya berkomentar jika ada sesuatu yang perlu diperjelas.
Ducati selalu memberikan pressure untuk semua pembalapnya. Ketika mereka tampil bagus, semua akan baik-baik saja. Namun jika performa mereka tidak sesuai ekspektasi tim, masalah besar akan menanti di depan mata. Ducati tidak pernah benar-benar mengubah filosofi mereka, yang mana pembalaplah yang harusnya beradaptasi motor, bukan motor yang di sesuaikan dengan gaya balap mereka.
Tanggapan Kepala Kru Tim World Superbike
Masalah di internal Ducati ini ternyata juga menarik perhatian orang lain. Pere Riba yang kini menjadi kepala kru Jonathan Rea di Superbike ikut memberikan tanggapannya pada apa yang menimpa Dovizioso di Ducati. Menurutnya, Dovizioso adalah pembalap bagus, bahkan telah membuktikan dirinya sebagai rival utama Marc Marquez selama 2017-2019 dan mencatatkan banyak podium bersama Ducati.
Kekecewaannya pada Ducati lah yang membuat penampilannya tak maksimal di tahun 2020. Menurutnya. Ducati telah membuat kesalahan karena mengabaikan permintaan Dovizioso. Apalagi Dovi adalah pembalap yang tau betul seluk beluk Ducati dari proses terpuruk hingga kini sejajar dengan tim pabrikan lainnya di MotoGP. Dovizioso lah pembalap yang terlibat langsung dalam proyek pengembangan Ducati.
Ducati seharusnya mengerti posisi Dovizioso dan menolongnya mengatasi masalah yang dihadapi untuk membuat kepercayaan dirinya kembali ke level terbaik. Namun apa boleh dikata, semuanya telah terjadi dan Dovizioso kini telah benar-benar meninggalkan Ducati dengan sejuta kenangan bersejarah selama kurun waktu yang lama. Sebuah sejarah dan cerita yang tak akan terhapus oleh waktu, bagi Dovizioso, bagi fans dan bagi penikmat gelaran balap MotoGP di seluruh dunia.