Para pembalap top MotoGP saat ini tampak lebih tidak konsisten dibanding era era sebelumnya. Keadaan ini tentu sangat membingungkan banyak fans MotoGP dan bisa membuat ajang MotoGP sulit dipahami.
Bagaimana bisa pembalap dan motor yang sama bisa finish kedua di satu race lalu kemudian malah finish ke 10 di race berikutnya?
Pasti ada alasan mengapa hal ini bisa terjadi, apakah karena pembalap MotoGP saat ini sangat malas latihan atau bahkan terlalu berfoya foya dengan gaji yang besar sehingga tidak fokus lagi pada balapan ?
Hasil pemenang Grand Prix pada beberapa tahun terakhir telah menunjukan fenomena ini.
Dimulai di 2020 saat Joan Mir menjadi juara dunia dengan hanya mencetak 48% dari total poin yang ada. Lalu Fabio Quartararo yang hanya mencetak 62% total poin. Dan sekarang Pecco Bagnaia yang sedang diambang juara dunia, yang mana hanya mencetak 54% total poin dari 19 balapan. Hal ini membuat ketiga pembalap ini menjadi pembalap yang paling sedikit mencetak poin sejak ajang Grand Prix digelar tahun 1949.
Bandingkan dengan juara juara masa lalu semacam Wayne Rainey yang menang tahun 1990 mencetak 85% dari total poin, lalu Mick Doohan yang juara tahun 1997 yang mencetak 90% total poin yang ada, kemudian dilanjut di era Valentino Rossi yang juara di tahun 2003, Casey Stoner di 2011, Jorge Lorenzo di 2015, sampai Marc Marquez di 2019 lalu yang menunjukan dominasinya dengan mencetak lebih dari 70% total poin yang ada.
Fakta sebenarnya kenapa hal ini terjadi adalah dibuatnya regulasi teknis oleh Dorna untuk menyeimbangkan performa motor di grid MotoGP, seperti penggunanan bore (baca: bor) piston maximal 81 milimeter, pembaruan spek ban, sampai software elektronik yang seragam. Hal ini membuat semua performa motor sangat mirip. Dan akhirnya yang paling membuat perbedaan adalah kedalaman talenta dan profesionalisme pembalap itu sendiri, sehingga akan ada banyak pembalap yang mampu mencetak kecepatan laptime yang mampu bertarung di podium.
Semua hal ini membuat balapan menjadi semakin ketat dari era sebelumnya. 15 Pembalap finish teratas yang terjadi di seri balap Qatar dan Australia lalu menjadi 2 seri balapan yang paling rapat jaraknya dalam 7 dekade balap MotoGP, dimana 10 pembalap teratas melintasi garis finish dengan jarak hanya 5 detik.
25 tahun lalu di seri balap GP Australia 1997, pembalap yang finish 10 besar dipisahkan dengan jarak waktu 36,8 detik, dengan perbedaan race pace nya 1,36 detik per lap antara pembalap yang menang dan yang finish ke 10.
Tahun ini di Philip Island, 10 pembalap teratasnya berjarak hanya 5,9 detik, dengan perbedaan waktu per lapnya hanya 0,22 detik antara Alex Rins dan Brad Binder.
Tentu, konsekuensi dari balapan yang semakin ketat dibanding sebelumnya berarti jika pembalap dan mekaniknya tidak bisa memaksimalkan potensi motor dan bannya di balapan hari minggu, maka mereka tidak akan mendapat hasil bagus. Perbedaan terkecil motor dalam hal performa meski hanya lebih lambat 0,1 detik, sangatlah berpengaruh dalam rusak atau tidaknya balapan seorang pembalap. Ajang balap Grand Prix belum pernah seperti ini.
Jika seandainya Alex Criville yang menang di GP Australia 1997 waktu per lap nya lebih lambat 0,22 detik, dia masih bisa finish podium ketiga. Namun jika itu terjadi di era sekarang Criville dipastikan akan finish ke 19. Ini benar benar balapan yang sangat gila.
Para pembalap era sekarang harus berani ambil resiko di setiap lapnya jika mereka ingin memburu raihan podium, yang mana akan lebih banyak terjadi crash. Bagnaia merupakan contoh yang tepat dalam kasus ini. Bagnaia crash sebanyak 5 kali tahun ini dan dia malah masih bisa memimpin klasmen. Belum pernah ada pembalap yang bisa melakukan itu.
Hal ini diamini sendiri oleh rekan setimnya Jack Miller yang mengatakan bahwa saat ini untuk bisa tampil sangat cepat dan konsisten di setiap seri balap menjadi lebih sulit dibanding beberapa tahun lalu, saat pembalap akan sulit bertarung memperebutkan gelar bila crash lebih dari sekali.
Hal ini menurut Miller karena banyaknya jumlah motor dan pembalap bagus yang ada di kelas MotoGP. Miller lalu memberi contoh ketika dirinya mengalami pekan balap yang buruk di seri Mugello dan Catalunya beberapa bulan lalu yang akhirnya dia hanya dapat 2 atau 3 poin. ini sangat berbeda di masa lalu ketika mengalami pekan balap yang buruk Miller masih bisa finish keempat atau kelima. Miller lalu menyimpulkan kenapa ini bisa terjadi karena level dari motor, pembalap, kejuaraan dan intensitas seri balap yang sangat tinggi di tahun ini.
Paul Trevathan, yang merupakan crew chief dari pembalap KTM Miguel Oliveira setuju akan hal itu, namun ada situasi lain yang turut menciptakan kondisi seperti ini. Menurutnya, absennya Marc Marquez akibat cidera patah lengan kanannya di 2020 punya andil juga, karena saat Marquez masih mendominasi, hampir semua pembalap berpikir mereka hanya bisa memperebutkan tempat kedua saja.
Saat Marquez absen para pembalap muda mulai masuk, yang mana mentalnya belum pernah merasa dikalahkan Marquez sebanyak para pembalap terdahulu, sehingga saat Marquez absen pembalap muda ini mulai mengambil alih kejuaraan. Yang akhirnya berdampak pada mentalnya yang semakin baik dalam memperoleh kemenangan. Dan saat sudah bisa menang kepercayaan diri para pembalap muda ini semakin besar.
Hal ini pernah terjadi sebelumnya di tahun 1999 dan 2000, ketika pensiunnya Mick Doohan (baca: Mik Duhan) dan mulai hadirnya Rossi muda di GP500.
Hal lainnya yang menurut Trevathan berperan penting dalam terciptanya balapan yang ketat adalah bagaimana pabrikan MotoGP mengembangkan motornya dengan spec elektronik Magneti Marelli dan ban Michelin ini. Sekarang semua pabrikan MotoGP sudah mulai memahami bagaimana kinerja ban Mcihelin, yang mana akhirnya membuat motor sesuai dengan karakteristik ban Michelin.