MotoGP merupakan kompetisi balap yang selalu mampu menyuguhkan tontonan menarik dari aksi para Rider yang berkompetisi di lintasan untuk berebut tempat terbaik dan meraih banyak kemenangan hingga prestasi tertinggi, gelar juara dunia yang selalu berusaha untuk diraih.
Kini, hampir pasti semua pecinta balap motor mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan MotoGP. Sebab, MotoGP sendiri telah lama ada dan memiliki story yang panjang dalam gelaran balap motor internasional. Tak terasa, di tahun ini MotoGP telah memasuki usia 73 tahun sejak pertama kali melangsungkan kejuaraan balap motor pertamanya di tahun 1949.
Dengan usia yang bisa dibilang telah tua itu, banyak hal-hal menarik dan perubahan besar yang terjadi pada MotoGP, meliputi regulasi, sponsor, sirkuit, format balap, hingga hal teknis lainnya yang selalu berkembang mengikuti zaman. Lalu seberapa besar perubahan itu terjadi? Apa sajakah yang telah berganti di MotoGP klasik dan modern? Untuk menjawabnya, mari kita simak ulasan lengkapnya berikut ini.
Sejarah Awal Kompetisi Balap MotoGP
MotoGP mengawali sejarah panjangnya di tahun 1949, tahun yang bisa disebut sebagai Inaugural Season atau musim perdana perhelatan balap motor tertinggi yang dulu dikenal dengan istilah Grand Prix. Kompetisi balap MotoGP pun berjalan dengan peraturan yang dibentuk oleh FIM (Fédération Internationale de Motocyclisme).
Sementara Dorna Sports sebagai pemegang hak komersial, sekaligus menjadi pihak penyelenggara balap MotoGP. Segala urusan yang melibatkan peraturan teknis maupun non teknis akan selalu berada dibawah kendali kedua organisasi tersebut.
Sementara International Road Racing Teams Association (IRTA) juga dibentuk untuk mewakili suara dari tim-tim yang mengikuti balap dan Pabrikan yang diwakili MSMA (Motorcycle Sport Manufacturers Association). Dalam hal modifikasi teknis, MSMA dapat secara sepihak memberlakukan perubahan, bahkan hingga memveto aturan dengan suara bulat. Keempat organisasi inilah yang disebut Grand Prix Comission dan menjadi bagian penting dalam kesuksesan balap MotoGP.
MotoGP/Grand Prix Periode 1949-1970
Pada awal periode penyelenggaraan balap, MotoGP/Grand Prix memiliki banyak kategori kelas yang dipakai untuk lomba, diantaranya 50cc, 125cc, 250cc, 350cc, 500cc dan 750cc untuk kelas single. Serta 350cc dan 500cc untuk Sidecars. Mesin 4-tak masih digunakan untuk semua kelas balap dan barulah di tahun 60-an, masuklah mesin 2-tak di Grand Prix dan hanya digunakan untuk kelas balap dengan cc yang kecil.
Pada 1957, Gilera, Mondial dan Moto Guzzi memutuskan untuk mundur dari kompetisi balap di akhir musim akibat meningkatnya biaya untuk mengikuti race penuh. Padahal ketika itu Gilera berhasil menjadi juara konstruktor dan pembalap di kelas 500cc selama 6 tahun dari 9 tahun gelaran awal Grand Prix sejak 1949.
Hengkangnya Gilera kemudian dimanfaatkan betul oleh Pabrikan Italia lainnya MV Agusta yang sukses mencatat banyak rekor kemenangan dan menjadi pabrikan yang paling dominan meraih prestasi terbaik dari tahun 1958-1974 dengan 3 rider yang pernah menjadi juara dunia bersama MV Agusta (John Surtees, Gary Hocking, Mike Hailwood dan Giacomo Agostini).
MotoGP/Grand Prix Periode 1971-1990
Memasuki era 1970, penggunaan mesin 4-tak tak lagi mendominasi balapan karena mesin 2-tak yang mulai dilirik untuk dipakai tim-tim balap. Pemilihan mesin 2-tak sendiri dilandasi oleh faktor bobot yang lebih ringan daripada mesin 4-tak, sehingga berpengaruh besar pada peningkatan kecepatan dan performa motor di lintasan.
Bahkan MV Agusta yang terkenal tangguh pun ikut beralih ke mesin 2-tak 3 silinder. Cara itu berhasil dan MV Agusta pun tetap berhasil mempertahankan kemenangannya di level balap tertinggi selama 5 musim dari 1970-1974. Namun semuanya berubah saat pabrikan Jepang mulai ikut dalam Grand Prix 1975. Kehadiran Yamaha dan Suzuki menjadi ancaman berarti untuk Pabrikan Italia.
Dalam sekejap, permainan pun dikendalikan oleh Pabrikan Jepang. Itu terbukti pada tahun 1975 dimana Yamaha sukses menyabet kekuasaan MV Agusta di Grand Prix selama 17 tahun. Diikuti Suzuki pada 2 musim berikutnya. Kedua pabrikan inilah yang terus berebut titel tertinggi hingga tahun 1982.
Sedangkan Pabrikan jepang lainnya, Honda baru kembali ke ranah Grand Prix pada musim 1979 setelah 11 tahun absen dari kompetisi balap motor dan memulai debutnya lagi dengan motor Honda NR500 yang dikedarai Mick Grant dan Takazumi Katayama.
Honda sendiri baru bisa memenangkan gelar juara dunianya pada musim 1983 lewat torehan manis Freddie Spencer. Setelah itu, persaingan selalu berganti antara Yamaha, Suzuki dan Honda untuk memenangi kejuaraan balap Grand Prix. Redupnya prestasi pabrikan Italia membuat mereka perlahan meninggalkan Grand Prix setelah gagal mendulang hasil manis seperti kejayaannya di masa silam.
Tahun 80-an menjadi era keemasan pembalap Amerika dan Australia diatas motor Pabrikan Jepang. Banyak pembalap dari Negeri Paman Sam dan Negeri Kangguru yang mampu merengkuh titel juara dunia 500cc. Seperti Wayne Rainey, Freddie Spencer, Eddie Lawson dan Wayne Gardner.
MotoGP/Grand Prix Periode 1991-2000
Di awal periode 90-an, pembalap Amerika masih bisa mendominasi kemenangan dan gelar juara dunia hingga tahun 1993. Seperti waktu yang berputar, rupanya kejayaan itu tak lagi bertahan lama dan mulai tergusur semenjak Honda bangkit di tahun 1994 setelah mereka memiliki pembalap sekaliber Mick Doohan dengan mesin motor Honda NSR500 yang sangat over power di masa tersebut.
Tak pelak Grand Prix pun berganti dikuasai oleh Honda lewat kemenangan dan gelar juara raihan Mick Doohan 5 tahun beruntun dari musim 1994-1999, sebelum Doohan gantung helm akibat cedera parah di Jerez yang mengakhiri karir manisnya sebagai pembalap professional di tahun 1999.
Di tahun itu juga Alex Criville mencatatkan sejarah sebagai pembalap Spanyol pertama yang mampu meraih gelar tertinggi di Grand Prix 500. Sementara pada 2000, gelar prestisius itu kembali lagi ke publik Amerika lewat prestasi dari Kenny Robert Jr dengan Suzuki RGV500, sekaligus menjadi tahun terakhir Suzuki mampu menjuarai kompetisi Grand Prix 500.
MotoGP/Grand Prix Periode 2001-2011
Sejak 2000, Grand Prix 500 kedatangan pahlawan baru dari Italia. Dialah sang legenda balap pemilik nomor 46, The Doctor Valentino Rossi. Rossi menjadi rookie yang menjadi sorotan banyak pecinta balap waktu itu. Datang dengan titel juara kelas 250cc tahun 1999, Rossi digadang-gadang menjadi Rider kebangaan baru warga Italia.
Dan benar saja, setelah menghabiskan 1 tahun belajar dan memahami karakter motor 2-tak 500cc yang terkenal liar, Rossi pun mulai menunjukkan tajinya di tahun 2001. Untuk pertama kalinya juara Grand Prix 500 kembali ke Italia, berkat prestasi ciamik Vale.
4 musim setelahnya, Rossi terus mempertahankan gelarnya itu, sekalipun harus pindah ke Yamaha pada 2004 yang dinilai orang tidak akan mampu mengalahkan kedikdayaan RC211V. Tapi Rossi mampu membuktikan kelasnya sebagai seorang legenda balap.
Pada 2002 istilah Grand Prix mulai diubah menjadi MotoGP dengan perubahan pada regulasi mesin menjadi 800cc. Uniknya di musim itu, masih ada tim balap yang masih bertahan dengan mesin 2-tak 500cc. Dan pecinta balap pun disuguhkan tontonan pertarungan mesin 4-tak Vs 2-tak di MotoGP yang dimenangkan telak oleh mesin 4-tak.
Meski terdapat perubahan regulasi, tetap saja juaranya selalu Valentino Rossi. Dari kurun waktu 2001-2009, tercatat hanya ada 2 nama Rider yang mampu memutus kejayaan Rossi di MotoGP. Mereka adalah Nicky Hayden 2006 dan Casey Stoner 2008. Titel juara dunia Hayden di musim 2006 terasa begitu berarti, sebab itulah terakhir kalinya ada pembalap asal Amerika yang masih bisa menjuarai kelas balap tertinggi, MotoGP.
Pabrikan Italia baru kembali di level terbaiknya pada 2007, ketika Stoner dengan Desmosedici GP7 nya membuat banyak mata terbelakak oleh kecepatan monster berkelir merah dari Borgo Panigale itu. Bahkan Rossi harus susah payah mengatasi perlawanan Stoner yang terlalu sulit disaingi di lintasan lurus. Meski begitu, kepiawaian Rossi dalam mengganti pilihan ban ke Bridgestone cukup bisa membantu Yamaha mengatasi tenaga liar Ducati.
Pada 2008-2009, Rossi kembali menjadi juara dunia MotoGP. MotoGP pun semakin berwarna dengan hadirnya talenta pembalap baru seperti Pedrosa dan Lorenzo. Gelar juara dunia Lorenzo di MotoGP 2010 menjadi cikal bakal dominasi Rider Spanyol di MotoGP. Karena setelah itu, MotoGP berganti dikuasai oleh pembalap negeri matador.
MotoGP/Grand Prix Periode 2012-2022
Tahun 2012 ditandai dengan perubahan regulasi mesin menjadi 1000cc untuk mengimbangi teknologi yang semakin maju pada motor. Pada era tersebut Lorenzo dan Pedrosa bersaing ketat membuktikan siapa pembalap spanyol terbaik di MotoGP, hingga Marquez datang pada 2013 dan sukses menjadi Rider fenomenal sekaligus kontroversial.
Setelahnya, hampir selalu balapan dikuasai pembalap asal Spanyol. Dan disitulah mulai hilangnya pengaruh pembalap Italia, pasca Rossi yang mengalami masa-masa sulit di Ducati, bahkan saat Comeback ke Yamaha, The Doctor perlu waktu untuk beradaptasi dengan Yamaha M1 selama hampir 2 tahun hingga kembali ke performa terbaiknya di tahun 2015.
Dominasi gelar juara dari pembalap Spanyol tahun 2012-2014 nyaris saja dipatahkan Rossi di tahun 2015. Sayang itu tidak sampai berhasil akibat insiden Sepang Clash dan hukuman start dari grid terakhir di GP Valencia. Alhasil lagi-lagi spanyol keluar sebagai juara dunianya lewat keberhasilan Jorge Lorenzo.
Dominasi spanyol terus berlanjut hingga 2020, bahkan saat Marquez absen hingga akhir musim, spanyol masih memiliki jawara dari prestasi Joan Mir. Kejayaan spanyol akhirnya terkikis juga di tahun 2021, dimana untuk kali pertama, pembalap perancis berhasil menjadi juara dunia MotoGP. Dialah El Diablo, Fabio Quartararo.
Meski begitu, Italia masih boleh bangga karena di tahun 2022, gelar itu kembali direbut pembalap asal Italia, Pecco Bagnaia. Dan kini persaingan di MotoGP semakin ketat, karena tim-tim balap telah memiliki kemampuan motor yang hampir setara dan gap antar pembalap semakin dekat hingga sulit diprediksi siapa yang akan memenangi balapan, karena setiap balapan menghadirkan cerita baru yang tak terduga.
Dan nampaknya roda kehidupan terus berputar dan angin segar pun kini berhembus ke kubu Ducati. Tim yang identik dengan warna merah ini telah melakukan banyak hal, banyak riset, banyak dana dan banyak waktu untuk bisa setara dengan pabrikan Jepang seperti Honda dan Yamaha.
Ducati datang ke MotoGP tahun 2003 dengan konsep motor yang kencang di trek lurus, tapi memiliki masalah pelik pada Understeer yang berlangsung selama bertahun-tahun lamanya. Hingga mereka mulai melakukan revolusi besar-besaran sejak 2015.
Mendatangkan Gigi Dall Igna, membuat berbagai perangkat penunjang performa motor yang akhirnya diikuti Pabrikan Jepang, hingga yang paling fantastis adalah menurunkan 8 Rider di MotoGP. Semua itu demi sebuah tujuan dan ambisi besar Ducati selama bertahun-tahun di MotoGP. Ducati ingin merasakan nikmatnya menjadi juara.
Mereka menurunkan banyak Rider dengan harapan memiliki banyak input data dari bermacam karakter pembalap sekaligus menguji komponen baru pada teknologi motor. Kerja keras itu berbuah manis dan tak pernah sia-sia. Seperti kata pepatah, usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Itu juga yang terjadi pada Ducati.
Tanda tanya besar, apakah Ducati bisa juara dunia di MotoGP telah terjawab di tahun 2022 lewat hasil luar biasa yang didapat Pecco Bagnaia. Tidak sampai disitu saja, Ducati masih memiliki ambisi besar lainnya, setelah merengkuh juara dunia pembalap, juara konstruktor, mendapatkan gelar Rookie Rider of The Year, mereka masih ingin memperkuat dominasinya di MotoGP dan memperbanyak titel juara dunianya. Untuk itu, Enea Bastianini pun di rekrut sebagai partner Pecco Bagnaia.
Hal itu dimaksudkan agar Ducati mampu memenuhi filosofinya, dimana pembalap Italia yang bisa motor dengan motor pabrikan Italia. Jika Bastianini mampu menjadi juara dunia, maka kekuasaan Ducati di MotoGP akan semakin kokoh dan akan sulit disaingi pabrikan Jepang yang kini justru bermasalah.
Seperti Yamaha yang masih mampu bersaing karena ada Quartararo yang memiliki Riding Style khusus untuk mengendarai Yamaha M1 yang minim grip ban belakang dan Honda dengan Marquez yang masih memiliki semangat juang tinggi, walaupun kini kondisi fisiknya kurang mendukung untuk bisa tampil 100%. Sedangkan rekan balap mereka tak mampu mencetak hasil maksimal dengan motornya.
Apalagi pembalap tim satelit yang sama sekali hilang dari perhatian penonton dan seolah tersingkirkan dari persaingan di level tertinggi. Patut dinanti apakah Yamaha dan Honda mampu membenahi masalah ini untuk kembali lagi ke puncak kejayaan mereka?
Tentunya tidak akan mudah dan hanya waktu saja yang bisa menjawabnya. Patut kita nanti kejutan, sejarah dan rekor apa yang akan muncul di MotoGP pada masa depan. Yang pasti MotoGP akan tetap menghadirkan persaingan sengit disetiap serinya. Karena itulah daya tarik balap kuda besi ini yang telah menjadi ciri khas dan tak akan lekang oleh waktu.